Aksi Indosiar Zuddin Pintu Surga 15 Juni 2014
Rabu, 25 Juni 2014
Selasa, 24 Juni 2014
“ZUDDIN” (Muhammad Izzuddin): Alumni Pondok Pesantren Hikmatusysyarief NW Salut Narmada mengikuti Lomba Program AKSI INDOSIAR 2014

Minggu, 06 Mei 2012
KEWIRAUSAHAAN ALUMNI PESANTREN
Menumbuhkan Semangat Kewirausahaan Alumni Pesantren
Mengawali tulisan ini, penulis bermaksud merefleksikan peran dan kiprah alumni pondok pesantren di berbagai ruang dan bidang. Sejauhmana peran dan kiprahnya, tantangannya seperti apa dan bagaimana dengan komunitas jaringan alumni pesantren.
Untuk melihat sebaran ruang alumni pondok pesantren itu, maka paling tidak kita dapat melihat dalam beberapa aspek aktifitas dan ruang ; pertama, kiprah alumni yang bergerak di dunia pendidikan (seperti mereka yang memiliki pesantren, sekolah umum, madrasah, yayasan dan lembaga kursus), kedua, kiprah alumni di ranah politik (dalam hal ini baik ruang keterlibatan alumni dalam partai politik praktis, maupun pengamat politik), ketiga, kiprah alumni dalam dunia sosial-kemasyarakatan (pendidik, muballig, tokoh masyarakat, aktivis budaya, aktivis sosial, penggiat LSM), keempat, ruang alumni dibidang pemerintahan, dan kelima ruang alumni di ranah ekonomi dan kewirausahaan.
Prolog Only
Masa lalu jelas sebuah proses. Dan proses itu bisa bermakna ribuan makna dan kenangan. Bagi kita, ketika di Pondok dulu, kenangan-kenangan itu tetap tak lekang waktu. Kenangan itu tetap hidup mesti rutinitas hidup memakan waktu.
Saya masih ingat betul, siapa guru saya misalnya yang fasih mendendangankan suara” ihu…….”dengan mimik bibir yang khas. Pada guru itulah saya juga mendapatkan wejangan aneh ketika menulis puisi di majalah dinding dengan judul memakai kata “elegi”. “Siapa itu yang nulis pakai kata elegi-elegian di mading ?”, kata dia waktu itu. Aduh, ketika kini, saya merasakan wejangan itu begitu katrok dan abstrak.
Saya masih ingat betul, siapa guru saya misalnya yang fasih mendendangankan suara” ihu…….”dengan mimik bibir yang khas. Pada guru itulah saya juga mendapatkan wejangan aneh ketika menulis puisi di majalah dinding dengan judul memakai kata “elegi”. “Siapa itu yang nulis pakai kata elegi-elegian di mading ?”, kata dia waktu itu. Aduh, ketika kini, saya merasakan wejangan itu begitu katrok dan abstrak.
Langganan:
Postingan (Atom)